Museum Negeri Jambi


JAMBI - Jika Anda menyukai wisata budaya dan sejarah, maka datang ke Museum Negeri Jambi adalah pilihan yang tepat. Tempat wisata ini berada di Jalan Urip Sumoharjo Nomor 1, Jambi.

Bangunan museum ini dibuat menyerupai Rumah Kajang Lako yang merupakan rumah adat di Jambi. Di sini, Anda bisa menemukan banyak koleksi benda bersejarah dan bernilai seni budaya Jambi dari masa ke masa seperti peralatan berburu, anyaman khas Jambi, batik tenun dengan motif bunga yang khas dan juga binatang yang diawetkan.


Tempat wisata di Jambi ini buka setiap hari Senin sampai Kamis pada pukul 08:00 – 15:00 dan Jumat pada pukul 07:15 – 11.00. Hari Sabtu, Minggu dan hari libur nasional museum ini tutup. Sedangkan biaya masuk museum adalah 3.000 Rupiah untuk dewasa dan 1.000 Rupiah untu anak-anak.(*)

Sekolah di Tanjabtim Kembali Gunakan Kulikulum 2006 (KTSP)


MUARASABAK–Pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMA) di Kebupaten Tanjabtim kembali menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006.

Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Kadiknas) Kabupaten Tanjabtim, Heri Widodo,SPd melalui Kasi Kurikulum Dikdas, Refli kemarin menjelaskan, penerapan kembali kurikulum 2006 ini bentuk dukungan dunia pendidikan Kabupaten Tanjabtim terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Diperkuat dengan surat edaran dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) No. 179342 tertanggal 6 Desember 2014.Refli mengatakan, pada surat edaran itu terdapat dua keputusan, diantaranya menghentikan pelaksanaan kurikulum 2013 di sekolah yang baru menerapkan satu semester, yakni sejak tahun ajaran 2014/2015.

Kemudian sekolah itu supaya kembali menggunakan kurikulum 2006. "Poin pertama inilah yang menjadi landasan, kenapa sekolah di Tanjabtim akan kembali menggunakan kurikum 2006," jelas Refli.

Poin kedua, lanjutnya, yakni tetap menerapkan kurikulum 2013 di sekolah yang menerapkan kurikulum tersebut selama tiga semester, yakni sejak tahun ajaran 2013/2014 dan menjadikan sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan dan percontohan penerapan kurikulum 2013 tersebut. "Jadi sebenarnya kurikulum 2013 ini bukan dihentikan, saya lihat di beberapa media itu salah. Yang benar adalah direvisi bukan dihentikan," kata Refli.

Lebih lanjut Refli mengatakan, penilaian sistem deskripsi pada kurikulum 2013 lah yang sebenarnya banyak diprotes para guru. Karena menurut guru, penilaian nilai siswa di raport dengan sistem deskripsi ini cukup repot. "Kalau di kurikulum 2006 kan mudah, tinggal memasukan nilai siswa berupa angka. Tapi pada kurikulum 2013 tidak seperti itu, kerjanya lebih repot, inilah sebenarnya yang diprotes guru, dan kenapa guru itu tidak mau menggunakan kurikulum 2013," tandasnya. (*)

Sumber : harianjambi.com


Kicauan yang Menikam


JAMBI - Kicauannya setiap hari bak pisau tajam. Bermanfaat dan menguatkan keyakinan bagi yang memercayainya, tapi menikam dalam bagi yang menyinisinya. Sebuah pilihan yang terbilang berani untuk ‘mengubah’ haluan dari yang semula disimpati kalangan tertentu, lantas kemudian siap dicaci maki.

Beberapa orang bertanya pada saya tentang akorbat teman lama saya itu. Saat jadi jurnalis, ia mendapat hati tersendiri di kalangan islamis. Latarnya saat mahasiswa sebagai pengikut halaqah Tarbiyah dengan cepat teresonansi di kalangan kader sebuah partai Islam. Apalagi kicauannya yang cerdas disertai pula dengan semangat membela agamanya. Nuansa unu amat terasa saat ia menggelitik kekritisan pengikutnya ihwal operasi kontraterorisme yang digelar Densus 88.

Tapi cerita kebersamaan itu terkoyak saat teman tadi mulai ‘nakal’ dalam mengedukasi teman-temannya di satu halaqah. Ketergesaan menilai dan kurang kritisnya kader Tarbiyah celah baginya untuk melakukan edukasi dengan teman yang berbeda. Tema yang justru membuat ia menjadi musuh, atau sekurangnya sasaran prasangka, kader Tarbiyah.

Niatnya ‘meluruskan‘ fakta dan logika, bila dicermati memang mumpuni. Latar interaksi intimnya dengan kalangan telik sandi, baik saat menjadi jurnalis ataupun sekolah pascasarjana, mendukung ke sana. Hanya, nuansa dan bingkai yang terbangun memang tidak lagi seperti bau kentut. Awalnya saya merasa begitu. Bau busuk yang dikeluarkan dari kicauannya yang semula normal bagian dari artikulasi kritik, belakangan—saat menjelang pemilihan presiden—seperti ejawantah sebuah sikap.

Antara sikap atau antek, akhirnya kadung bersemayam di kepala banyak kader kalangan islamis pengikutnya di Twitter. Ia dicurigai begini begitu. Dari pendukung bayaran calon presiden hingga intelijen. Soal mana yang benar, wallahu’alam.

Balik ke bau busuk tadi. Saya coba runutkan kicauannya semata untuk membaca dan melihat peta berpikirnya. Bau yang semula tercium kecil dan wajar belakangan memang kian menggebu. Sesekali bahkan militan. Namun, militansi yang berbeda semasa ia masih dianggap kader sebuah partai islamis. Pertanyaan menyeruak bukan tentang apakah dia berubah atau tidak, melainkan mengapa dan bagaimana dia (mau) berubah? Berubah dengan positioning baru dari yang semula referensi aktivis dakwah menjadi ‘mencerdaskan’ aktivis dakwah.

Dari teman yang mengenalnya, saya mendengar asbab kemungkinan ia berubah. Ia, katanya, semasa jadi jurnalis menyisakan dendam di salah satu pengurus partai yang (dulu) didukungnya. Laporannya soal poligami sang pengurus partai berujung ia dibenci sang politisi dan pengikutnya. Kenaifan dan kebiasaan menilai secara tergesa-gesa politisi dan pengikutnya ini menempatkan ia bak ‘penjahat’. Berawal dari sini, cerita musuh memusuhi pun terjadi. Perlawanan pun ia berikan. Sebuah cara yang menohok ke jantung lemahnya partai: intelektualitas kader.

Karena itu sajakah ia lantas tulus berganti wajah?

Bergantung dari sudut mana menilainya. Bila dilatari prasangka buruk, walau atas nama loyalitas dakwah, hasilnya buruk pula. Ditambah lagi ada lubang pada teman tadi hingga menguatkan prasangka buruk. Tidak lagi bekerja formal, berkuliah S2, harus menghidupi anak dan istri, membuat siapa saja bisa menudingnya dibayar.

Sebaliknya, bila kita menilainya dengan prasangka positif, bahkan cenderung menegasikan perasaan hati kalangan yang menyinisi, hasilnya akan selalu baiklah wajah teman tadi.

Saya mencoba keluar dari pandora kebencian tapi juga tidak menganggap ia selalu mewakili sebagai anjing penjaga (watch dog) yang pasti dan selalu bersih tanpa tendensi. Tinggal dan berinteraksi di Jakarta membuat siapa saja mengubah wajah aslinya.

Jangankan sekadar jurnalis yang masih punya tanggungan keluarga, ustad saja bisa berubah drastis pola pikir dan perilakunya. Postulat ini pun tanpa terkecuali berlaku pada ia. Berubah wajah setelah dimusuhi lantas menudingnya mendapatkan alasan untuk melakukan balasan, memang logis. Hanya, apakah ini satu-satunya sebab, ada baiknya kita tidak masuk dalam perangkap pikiran.

Bagaimanapun juga ia memahami dan mendalamai secara praktis dan teoretis soal intelijen. Keberadaanya selaku jurnalis yang condong bersimpati pada korban salah tembak operasi Densus 88, satu torehan yang dilematis ke depannya. Besar kemungkinan namanya masuk dalam daftar terawasi aparat. Positioning ini ancaman bagi keselamatan diri dan keluarganya.

Bukan kebetulan bila preferensi ideologis calon presiden tertentu menopang kecurigaan ke sana. Sang capres bisa dikatakan ada persilangan ideologis dengan kalangan yang bermain di proyek intelijen dan kontraterorisme. Bila teman tadi masuk sebagai penyuara loyal sang capres, celaka besar. Maka, mengubah wajah adalah cara logis agar ia bisa selamat. Selamat karier, ekonomi, hingga nyawa. Asumsi di atas dengan catatan ia masih memegang idealisme.

Dengan demikian, sejatinya ia hanya sedang berpura-pura membenci calon tertentu. Membenci dengan tetap memberikan edukasi kepada kalangan yang memusuhinya—tapi pernah menjadikannya rujukan di Twitter. Dibandingkan dikerjai aparat, tentu ia sudah menghitung efek dicaci konsisten kalangan pendukung partai islami tertentu.

Persoalannya, dramaturgi ia sampai kapan? Apakah aparat percaya begitu saja? Atau, malah—dan ini sudah kekhawatiran sebagian orang yang pernal mengenal semaca mahasiswa—ia ‘terbeli’. Tidak seratus persen menggadaikan idealisme, mungkin, tapi sebatas menyisakan kerumitasn dan kerusuhan kecil di kalangan pendukung partai dakwah.

Apa pun yang melandasi motifnya berkiprah di jagat kicau, ia sudah dewasa. Ia sudah dibekali pemahaman agama sejak belia, sebagaimana ia piawai menerapkan kejernihan berlogika dalam urusan dukung-mendukung. Ia tentu sudah mengetahui pilihan Ahmad bin Hanbal yang memilih didera rezim daripada berdiplomasi dengan kata-kata. Karena orang-orang akan mengingati apa yang tersurat, dari ucapan dan tindakan; bukan dari isi hati kita.


Mungkin kita sedang berpura-pura untuk sebuah jalan ‘kebaikan’, tapi sebuah pilihan berubah wajah hingga lahirkan kebencian dan penilaian berbeda kiranya tidak perlu diteruskan. Bukan soal benar dan salah; ini soal metode mengoreksi dalam ‘edukasi’ kalangan islaminya ahsan atau tidak. Kadar intelektual mereka boleh jadi payah, tapi tentu ada banyak jalan mengubahnya tanpa harus lahirkan curiga sebagaimana mudahnya kita melafalkan fonem /d/ dan /l/ berurutan di nama diri meski ini taklazim.(*)

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan


JAMBI - “Demokrasi telah mati!” seorang berteriak di jalanan, berkeliling-keliling sambil mengibarkan bendera dengan penuh kebencian, kemarahan, dendam dan frustasi!. “RIP demokrasi,” kata kawannya yang lain sambil menshare foto-foto ‘Ingatlah Partai Ini!’, sambil misuh, tak menerima. Demokrasi menjadi jimat dan aji-aji, kebenaran absolut, lupakan sejenak partainya super korup atau tidak, yang penting kalau melawan ‘demokrasi’ ia harus dihabisi.

Demokrasi, ia tak bisa diganggu gugat, menggugat demokrasi ialah haram hukumnya!. Ia adalah fatwa kekal, tak mungkin salah, tak bisa disalahkan, awas sekali-kali melawan demokrasi, Presiden pun fotonya bisa diinjak-injak. Demokrasi ialah mantra sakti. “Semua harus demokratis” Katanya sambil merengek maksa keinginannya dikabulkan karena kalah voting. Baginya, hanya dirinya yang mewakili rakyat dan demokratis. Tak demokratis berarti tak manusiawi, ketinggalan zaman, set back. Demokrasi kini menjadi tujuan akhir dan final, bukan lagi alat, pokoknya begitu, titik!

Yang melawan demokrasi, ia harus kita habisi, “kita bully di twitter”. Lihat saja, mereka, orang-orang yang terpilih via demokrasi, para wakil rakyat, yang telah dipilih rakyat, karena mereka tak sesuai dengan pendapat dirinya, maka para anggota dewan yang terhormat akan dilawan. Mereka yang dipilih rakyat, secara demokratis pun harus dihabisi, karena tak sependapat dengannya yang bisa jadi tidak dikenal warga di kampungnya, karena cuman eksis di FB , Twitter, Instagram doang.

Mereka yang dipilih rakyat adalah penghianat demokrasi!. Sedangkan yang ahlul twitter wal fesbukiyyah, yang dicekoki : oknum pengamat, lembaga asing, media mainstream yang berjibun kepentingan itu ialah rakyat sejati nan demokratis. Sebab, demokrasi baginya hanya urusan ‘memilih langsung’, kebebasan bicara, one man one vote, ‘tok. Pokoknya kalau nggak memilih langsung: #RIPDemokrasi, Demokrasi mati, penghianat demokrasi, hingga umpatan kasar terus terlontar sambil mention-mention.

“’Demokrasi’, ialah harga mati, melebihi apapun!” terkecuali: ketua parpol kami, lurah, camat, CEO, rektor, dll itu nggak perlu ‘demokratis’ amat lah. Keputusan yang diambil oleh orang-orang yang katanya dipilih secara demokratis tak perlu digubris, “karena bertentangan dengan kehendak kami”. Satu suara begitu nyaring, demokrasi di dunia maya yang membiarkan setiap orang berbicara begitu lantang, bebas, begitu individualistik, begitu penuh polemik, kata Plato.

Orang-orang tak lagi percaya para wakil rakyatnya sendiri, partai politiknya, karena semuanya hanya abu-abu, penuh intrik, licik dan plin-plan hanya berkutat hanya pada kekuasaan, kepentingan partai : sebuah ungkapan yang tengah menyeruak.

“Mengapa idealisme dan politik seakan tidak bisa bersatu. Mengapa politik hanya dianggap amal yang lepas dari ilmu, retorika yang tanpa logika. Mengapa politik berarti membangun kekuasaan, bukan peradaban. Padahal kekuasaan hanyalah tahta yang tak berarti tanpa ilmu, moralitas dan tujuan? tanya Dr. Hamid Fahmy Zarkasy dalam Pemimpin.

“Semua itu adalah harga yang harus dibayar dalam sistem demokrasi,” jawab Gordon S Wood dalam The Public Intellectual. Samuel Eliot Morrison dan Harold Laski, sejarawan Amerika percaya bahwa dalam sejarah modern, nggak ada periode yang kaya dengan ide politik yang memberi banyak kontribusi kepada teori politik Barat. “Itu karena kualitas intelektual dalam kehidupan politik masa kini turun drastis. Ide dipisahkan dari kekuasaan,” tambah Gordon gemas.

Kalau Gordon tinggal di Indonesia, mungkin ia akan berkata itulah harga yang harus dibayar oleh sekularisme dan demokrasi liberal. Beruntungnya, Negara ini -awalnya dan harusnya- menolak sekulerisme dan demokrasi liberal. Sambil berbinar-binar, para intelektual cum founding fathers merumuskan bahwa di sini, demokraisi bukanlah bermakna : bebas omong dan one man one vote, yang kini begitu didewakan pendukungnya, namun wisdom (hikmah kebijaksanaan) yang menjadi nilai dan dengan wisdom itulah rakyat dipimpin.

Di sini, harusnya ide tak bercerai dengan kekuasaan, kerakyatan dipimpin hikmah. Sila ke -4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” seharusnya menghancurkan konvensi dan adigium “Berpolitik tidak bisa hitam putih” , ”Politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah”. Terbukti dari ide yang diusung partai-partai di masa awal kemerdekaan yang begitu menjadi kebanggaan, bukan intrik dan pragmatisme laiknya sekarang.

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Begitu apik dikisahkan dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan karya pakar Politik Dr. Yudi Latif, yang mengisahkan bahwa hikmah dan musyawarah merupakan kearifan asli dari negeri ini yang bercecer di pelbagai wilayah. Wisdom dan musyawarah barang langka yang mungkin sulit ditemukan di negeri awalnya ketika demokrasi itu lahirl. Karenanya, di sananya, ia bukanlah lagi dianggap ‘mantra sakti’ ‘kebenaran mutlak’ seperti mungkin di sini. Demokrasi pun tak luput dari kritik para filsuf seperti Plato dan Aristoteles, dll. Rakyat dikuasai kemarahan, “they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like,” kata Plato.

Syahdan, ketika semua orang berbicara, dan geram sambil bersumpah serapah pada mesin yang rusak di sebuah toko di Leicester Inggris, seorang berparas Timur berusaha memperbaikinya, dengan sabar, dan akhirnya tersenyum puas setelah mesin itu kembali normal sambil menyeringai, “ You see! Wisdom always come from the East,” kira-kira begitulah maksud Edward Said dalam Orientalisme tentang hikmah dari Timur.

Goethe (1749-1832) yang asli Barat itu memang mengeluhkan dalam West Oestlicher Divan bahwa pandangan asli Barat yang materialis dan individualis. Sedangkan Timur menjanjikan nilai-nilai kebijaksanaan, karenanya, sastrawan kesohor, Iqbal (1923) dalam Payam – i- Mashriq (pesan dari Timrur) menulis nasihat untuk Goethe.

Raindranath Tagore peraih Hadiah Nobel Sastra dari India membenarkan kata hikmah-bijak (wisdom) memang dari Timur : ‘taklukkan kemarahan dengan kesabaran, kejahatan dengan kebaikan’ juga berasal dari Timur. Berbeda dengan istilah asli Barat, “Kenali musuhmu, vini, vidi, vici, we are the super power, “ kata Tagore.

Timur (orient) dan Barat (occident), mungkin digambarkan kelakar syair Tagore, bahwa wisdom bisa jadi hanya datang dari Timur, seperti tempat terbit matahari, sebaliknya, tempat terbenamnya cahaya berada di Barat. Dan karenanya, wisdomlah yang digali para pendiri negeri ini yang tak hanya ingin merdeka secara territorial, tetapi juga secara ideologi. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”

Hikmah, ia bukan personal, bukan Presiden, bukan anggota dewan yang terhormat, bukan juga anggota DPRD. “Hikmat adalah suatu kondisi kejiwaan dan dalam sila ini dikatikan dengan sikap dalam bermusyawarah dan menentukan kebijakan. Artinya sistem permusyawaratan dan perwakilan dalam bernegara di Indonesai ini mestinya dipimpin oleh moralitas yang tinggi.” kata Dr. Hamid Fahmy Zarkasy dalam Hikmah.

Lanjutnya, dalam bahasa umum hikmah dipahami sebagai kebijaksanaan atau bijaksana (wisdom). Dalam al-Qur’an terdapat perintah untuk berdakwah dengan bijaksana (bi al-hikmah). Karenanya, orang yang memutuskan perkara dengan hikmah, ia disebut hakim. Ikhwanussafa menjelaskan orang yang memiliki hikmah atau “al-hakim” adalah yang perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan; kerjanya tekun, perkataannya benar, moralnya baik, pendapatnya betul, amalnya bersih dan ilmunya benar, yaitu ilmu tentang segala sesuatu.

Hikmah juga berkaitan dengan berfikir yang logis dan mendalam. Karena itu Ibn Rusyd menterjemahkan “hikmah” dengan filsafat dan hakim dengan filosof. Istilah hikmah asli dari al-Qur’an dan disebut sebanyak 20 kali. Menurut al-Ghazzali hikmah adalah salah satu dari unsur akhlaq mulia selain keberanian, kejujuran dan keadilan. Maka berakhlaq mulia dalam Islam itu bukan sekedar berperilaku baik, tapi juga berilmu tentang kebaikan, bersikap berani menyatakan kebenaran, berlaku adil terhadap segala sesuatu alias tidak zalim.

Agar memiliki hikmah, keberanian, kejujuran dan keadilan diperlukan ilmu. Sebab berani dan adil tanpa ilmu bisa salah jalan alias sesat. Orang berilmu yang tidak jujur, ilmunya tidak manfaat. Demikian pula kekuatan dan manfaat ilmu dapat dilihat ketika seseorang itu dapat membedakan antara kejujuran dan kebohongan, antara haq dan batil, antara baik dan buruk. Jadi hikmah menurut al-Ghazzali adalah keadaan kejiwaan seseorang yang dapat mengetahui yang baik dari yang buruk benar dalam segala perbuatan. (Ihya III, hal.54). Ibn Arabi dalam Futuhat juga berpendapat sama. ( Hamid Fahmy Zarkasy: 2011)

Ungkapan Gordon di awal boleh jadi benar, bahwa kualitas (ilmu) intelektual dan spiritual dalam politik seakan tidak lagi dilibatkan. “Sebenarnya, yang mendirikan dan membangun negara itu adalah para intelektual” kata Zia Ul Haq (Presiden Pakistan silam) Mungkin Zia terinspirasi bukan dari para politisi, tapi dari para intelektual seperti Mohammad Iqbal, Abul Ala Al Maududi, Amir Ali, Syed Ahmad kan yang mempelopori kemerdekaan Pakistan.

Pun dengan inspirator negeri tetangganya (India) dari penjajahan Inggris seperti Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Jawaherul Nehru dan lain-lain. Boleh jadi, negeri ini pun begitu. HOS Tjokroaminoto adalah inspirator Soekarno dan lainnya. Agus Salim, Hamka, Natsir, Wahid Hasyim, M Yamin, Ki Hajar Dewantoro, hingga Hatta yang semuanya bukan politikus murni, tapi intelektual yang bervisi politik.

Ayn Rand dalam For the New Intellectual menjuluki mereka, sebagai thinkers who were also men of action. Dengan intelektualitasnya, diharapkan menjadi dasar dari ‘hikmah’. Ilmunya menjadi bekal amal. Itulah al Hakim (orang berhikmah). Al-Ghazzali menambahkan al-hakim adalah orang yang jiwanya memiliki kekuatan mengontrol dirinya sendiri (tamakkun) dalam soal keimanan, akhlak dan dalam berbicara. Jika kekuatan ini terbentuk maka akan diperoleh buah dari hikmah, sebab hikmah itu adalah inti dari akhlak mulia.

Cerdas memang, para intelektual cum pendiri negeri ini. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” menggambarkan sebuah sistem yang seharusnya hanya orang-oang yang “hakim” saja yang bisa memimpin rakyat.

Berbeda dengan semangat kemarahan, semangat hikmah memandang perbedaan pendapat tak harus dieksekusi dengan dendam kesumat karena ‘kalah’, sambil geram membagi sana sini ‘RIP Demokrasi’. Terus berteriak, memaksakan pendapat pribadi, tak sadar telah menjadi tiran, tirani demokrasi!. “Kematian demokrasi” yang digadang-gadang dibunuh oleh pengusungnya sendiri, suicide democracy! Tragis!

Sebaliknya, duduk bersama, meracik perbedaan, berpikir kolektif dalam sebuah majelis, seakan mengulang romantimse masa silam ketika sembilan orang berwibawa mengajukan dasar Negara tanggal 22 Juni 1945 dan disepakati 62 anak negeri, hingga ketika sehari setelah kemerdekaan negeri ini (18 Agustus), baru saja negeri ini memiliki Presiden dan Wakil Presiden yang ‘hanya’ disetujui 21 orang perwakilan.

Atau bisa juga kembali mengingat saat tahun 1955, ketika setiap orang pun memberikan suaranya secara langsung namun orang-orang yang disodorkan ialah para intelektual dan orang-orang terbaik dari Partai yang berbasis ide. Sekarang, pertanyaan terlontar kepada partai politik, akankah mereka memberikan rakyat pilihan para ahli hikmah yang akan diajukan sehingga rakyat tak menerima ‘begitu saja’ apa yang disodorkan?


Sebab, jika para ahli hikmah memimpin negeri ini, maka keadilan sosial takkan menunggu waktu, seperti ungkapan Lisan al-Din al-Khatib, ulama abad ke 14, dalam kitab Raudat al-Ta’rif memahami bahwa hikmah seperti keadilan. Walhasil, keberkahan dipastikan akan mengalir di negeri ini. Sebab al-Qur’an sendiri menjamin, “Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….” (al-Qur’an 2:269) Wallahua’lam.(*)

Sumber : islampos.com

Masuk SMP di Kerinci Harus Bisa Ngaji


KERINCI - Bupati Kerinci Adirozal sepertinya benar-benar ingin menerapkan persyaratan masuk ke Sekolah menengah pertama bagi Muris SD harus bisa baca alquran, dipastikan berlaku mulai 2015 mendatang.

Bupati Kerinci kembali mengingatkan para Murid Sekolah dasar untuk mau belajar baca alquran karena mulai tahun 2015 syarat untuk melanjutkan ke sekolah SMP harus bisa baca alquran dan itu di Buktikan dengan sertifikat.

"Saya ingatkan kepada masyarakat Kerinci khusus murid SD bahwa sarat masuk SMP harus bisa baca alquran dan itu dibuktikan dengan sertifikat khatam alquran," ujarnya kemarin.

Pernyataan tegas ini disampaikan Bupati Kerinci saat menutup MTQ tingkat Kabupaten Kerinci ke 45 di Kecamatan Depati VII kemarin. Bupati berharap masyarakat Kabupaten Kerinci untuk menggalakkan baca alquran ditengah masyarakat dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Kita harus tanam nilai ke Islaman sejak dari dini, oleh karena itu anak-anak kerinci harus bisa baca Alquran, dan bisa dilaksanakana dalam kehidupan sehari-hari,"jelasnya


Keinginan Bupati Kerinci meninginkan anak-anak SD untuk bisa baca alquran bahkan sebagai syarat bisa masuk SMP disambut baik masyarakat Kerinci. 

"Salah seorang warga dilokasi MTQ mengatakan kita setuju kalau syarat masuk SMP itu harus bisa baca alquran," ucapnya. (*)

Sumber : harianjambi.com

Anies Baswedan Hentikan Kurikulum 2013

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan

JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menghentikan kurikulum 2013 bagi sekolah yang baru menerapkannya selama 1 semester. Keputusan Menteri Anies disambut positif sejumlah guru.

"Kalau yang saya alamin kurikulum 2013 agak ribet ya. Kadang antara komunikasi saya sebagai guru kalau ikutin cara kurikulum malah bingungin," kata seorang seorang guru SDN 13 Kramatjati yang enggan disebutkan namanya ini di acara Peringatan Hari Guru Nasional, Museum Prangko, TMII, Jakarta Timur, Sabtu (6/12/2014).

Perempuan yang berusia 52 tahun itu mengaku sulit mengimbangi kurikulum 2013. Menurut dia, keharusan presentasi tanpa pelatihan kursus guru membuatnya kesulitan.

"Kalau enggak salah kan harus gitu ya. Nah, kita kan nggak semua ngerti gadget. Mau kita yang simple tapi murid-murid ngerti di kelas," sebut perempuan berkerudung itu.

Hal senada dikatakan salah seorang guru SLTPN 126, Zakiyah Ahmad (48). Ia berpendapat penerapan kurikulum 2013 seharusnya disertai dengan pelatihan para guru. Meski secara content, kurikulum 2013 harus diakui tujuannya lebih baik dari kurikulum 2006.

"Kalau target, tujuan buat siswa lebih kreatif ya memang 2013. Tapi, harusnya lebih dibarengin kesiapan guru. Kalau guru siap, murid enggak kaget," kata guru mata pelajaran Geografi itu.
Dia mencontohkan dalam kurikulum 2013, para siswa konsekuensinya harus menerima pekerjaan rumah yang lebih banyak. Hal ini untuk melatih para siswa agar tidak ketinggalan.

"Cara-cara pendekatan juga kreatif seperti presentasi. Cuma itu harus dibekalin guru yang cakap juga. Ya kalau diubah ada positifnya juga sih," tuturnya.(*)

Sumber : detik.com


Hambali Furnawan, Dosen Pendidik Mahasiswa yang Penuh Tanggungjawab

Dosen STMIK Nurdin Hamzah, Hambali Furnawan, ST

JAMBI - Menggeluti profesi sebagai Dosen tentunya tak terlepas dari pergaulan dengan mahasiswa. Namun tak semua Dosen memiliki rasa tanggungjawab penuh sebagai tenaga pendidik bagi mahasisnwanya. Tetapi lain halnya dengan  Hambali Furnawan ST, Dosen STMIK Nurdin Hamzah Jambi. Dirinya menggeluti profesinya dengan penuh tanggungjawab serta selalu beradabtasi dengan lingkungan sekitarnya.

Sosok Hambali Furnawan ST tak asing lagi bagi Mahasiswa STMIK Nurdin Hamzah Jambi. Dosen yang terkenal penyabar dalam mendidik ini merupakan Dosen tetap Jurusan Teknik Informatika. 

Kesehariannya cukup sederhana dan penuh sapa kepada mahasiswanya. Hambali Furnawan ini boleh dikatakan sebagai dosen panutan dalam mengajar. Ayah dari dua anak ini memiliki sosok yang sabar dalam mendidik mahasiswanya.

Senyum khas dan canda gurau yang dia miliki membuat rekan-rekan dosen dan mahasiswa segan akan sosok pribadinya. Dirinya juga membimbing mahasiswa dengan penuh rasa tanggung jawab.

Guna mendekatkan diri dengan lingkungannya, Hambali Furnawan tak segan-segan ikut bermain futsal yang juga merupakan hobinya. Lewat main futsal itu, dia bisa berinteraksi sosial dan berbaur dengan masyarakat.

Lewat kegiatan futsal pula, Hambali beradaptasi bersama komunitas / club olahraga. Karena menurutnya dimana ada komunitas disitu ada rasa sosialnya.

Selain itu, Hambali mengaku paling suka bermain futsal dan golf kalau ada waktu luang. Hambali berharap, untuk STMIK Nurdin Hamzah dan mahasiwanya tetap jaya lah! “Lebih kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran,” ujarnya baru-baru ini kepada harianjambi.com.

Sedangkan harapan untuk alumni STMIK Nurdin Hamzah Jambi, Hambali berpesan agar sama sama membangun wadah khusus alumni sehingga dapat membuat kontribusi untuk alumni dan masyarakat.

Selama menjadi dosen, Hambali juga memiliki suka duka terhadap mahasiwanya. Dia banyak menemukan latar belakang dan karakter yang berbeda terhadap mahasiswanya. Sehingga membuat Hambali banyak belajar dari mereka. “Jadi intinya kita belajar, mahasiswa pun juga belajar, dan tidak ada saling menggurui,” katanya.


Menurut Hambali Furnawan, yang paling berkesan baginya adalah pergaulan sehaja dengan mahasiswa dengan ragam latar belakang yang berbeda. “Walapaun kita bukan berasal dari kampus yang notabenenya yang lulusan nya terseleksi, tetapi di situ kita banyak menemukan latar belakang mahasiwa dari sesi financial, maupun asal dari mahasiswanya tersebut. Disitupun kita banyak menemukan mahasiswa yang berpotensi di bidangnya,” ujarnya.(*)

Sumber : harianjambi.com
Moehardian

Translate