JAMBI - “Demokrasi telah mati!” seorang berteriak di
jalanan, berkeliling-keliling sambil mengibarkan bendera dengan penuh
kebencian, kemarahan, dendam dan frustasi!. “RIP demokrasi,” kata kawannya yang
lain sambil menshare foto-foto ‘Ingatlah Partai Ini!’, sambil misuh, tak
menerima. Demokrasi menjadi jimat dan aji-aji, kebenaran absolut, lupakan
sejenak partainya super korup atau tidak, yang penting kalau melawan ‘demokrasi’
ia harus dihabisi.
Demokrasi, ia tak bisa diganggu gugat, menggugat demokrasi
ialah haram hukumnya!. Ia adalah fatwa kekal, tak mungkin salah, tak bisa
disalahkan, awas sekali-kali melawan demokrasi, Presiden pun fotonya bisa
diinjak-injak. Demokrasi ialah mantra sakti. “Semua harus demokratis” Katanya
sambil merengek maksa keinginannya dikabulkan karena kalah voting. Baginya,
hanya dirinya yang mewakili rakyat dan demokratis. Tak demokratis berarti tak
manusiawi, ketinggalan zaman, set back. Demokrasi kini menjadi tujuan akhir dan
final, bukan lagi alat, pokoknya begitu, titik!
Yang melawan demokrasi, ia harus kita habisi, “kita bully di
twitter”. Lihat saja, mereka, orang-orang yang terpilih via demokrasi, para
wakil rakyat, yang telah dipilih rakyat, karena mereka tak sesuai dengan
pendapat dirinya, maka para anggota dewan yang terhormat akan dilawan. Mereka
yang dipilih rakyat, secara demokratis pun harus dihabisi, karena tak
sependapat dengannya yang bisa jadi tidak dikenal warga di kampungnya, karena
cuman eksis di FB , Twitter, Instagram doang.
Mereka yang dipilih rakyat adalah penghianat demokrasi!.
Sedangkan yang ahlul twitter wal fesbukiyyah, yang dicekoki : oknum pengamat,
lembaga asing, media mainstream yang berjibun kepentingan itu ialah rakyat
sejati nan demokratis. Sebab, demokrasi baginya hanya urusan ‘memilih
langsung’, kebebasan bicara, one man one vote, ‘tok. Pokoknya kalau nggak
memilih langsung: #RIPDemokrasi, Demokrasi mati, penghianat demokrasi, hingga
umpatan kasar terus terlontar sambil mention-mention.
“’Demokrasi’, ialah harga mati, melebihi apapun!”
terkecuali: ketua parpol kami, lurah, camat, CEO, rektor, dll itu nggak perlu
‘demokratis’ amat lah. Keputusan yang diambil oleh orang-orang yang katanya
dipilih secara demokratis tak perlu digubris, “karena bertentangan dengan
kehendak kami”. Satu suara begitu nyaring, demokrasi di dunia maya yang
membiarkan setiap orang berbicara begitu lantang, bebas, begitu
individualistik, begitu penuh polemik, kata Plato.
Orang-orang tak lagi percaya para wakil rakyatnya sendiri,
partai politiknya, karena semuanya hanya abu-abu, penuh intrik, licik dan
plin-plan hanya berkutat hanya pada kekuasaan, kepentingan partai : sebuah
ungkapan yang tengah menyeruak.
“Mengapa idealisme dan politik seakan tidak bisa bersatu.
Mengapa politik hanya dianggap amal yang lepas dari ilmu, retorika yang tanpa
logika. Mengapa politik berarti membangun kekuasaan, bukan peradaban. Padahal
kekuasaan hanyalah tahta yang tak berarti tanpa ilmu, moralitas dan tujuan? tanya
Dr. Hamid Fahmy Zarkasy dalam Pemimpin.
“Semua itu adalah harga yang harus dibayar dalam sistem
demokrasi,” jawab Gordon S Wood dalam The Public Intellectual. Samuel Eliot
Morrison dan Harold Laski, sejarawan Amerika percaya bahwa dalam sejarah modern,
nggak ada periode yang kaya dengan ide politik yang memberi banyak kontribusi
kepada teori politik Barat. “Itu karena kualitas intelektual dalam kehidupan
politik masa kini turun drastis. Ide dipisahkan dari kekuasaan,” tambah Gordon
gemas.
Kalau Gordon tinggal di Indonesia, mungkin ia akan berkata
itulah harga yang harus dibayar oleh sekularisme dan demokrasi liberal.
Beruntungnya, Negara ini -awalnya dan harusnya- menolak sekulerisme dan
demokrasi liberal. Sambil berbinar-binar, para intelektual cum founding fathers
merumuskan bahwa di sini, demokraisi bukanlah bermakna : bebas omong dan one
man one vote, yang kini begitu didewakan pendukungnya, namun wisdom (hikmah
kebijaksanaan) yang menjadi nilai dan dengan wisdom itulah rakyat dipimpin.
Di sini, harusnya ide tak bercerai dengan kekuasaan,
kerakyatan dipimpin hikmah. Sila ke -4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” seharusnya menghancurkan
konvensi dan adigium “Berpolitik tidak bisa hitam putih” , ”Politisi boleh
bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah”.
Terbukti dari ide yang diusung partai-partai di masa awal kemerdekaan yang
begitu menjadi kebanggaan, bukan intrik dan pragmatisme laiknya sekarang.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.” Begitu apik dikisahkan dalam Mata Air Keteladanan:
Pancasila dalam Perbuatan karya pakar Politik Dr. Yudi Latif, yang mengisahkan
bahwa hikmah dan musyawarah merupakan kearifan asli dari negeri ini yang
bercecer di pelbagai wilayah. Wisdom dan musyawarah barang langka yang mungkin
sulit ditemukan di negeri awalnya ketika demokrasi itu lahirl. Karenanya, di
sananya, ia bukanlah lagi dianggap ‘mantra sakti’ ‘kebenaran mutlak’ seperti
mungkin di sini. Demokrasi pun tak luput dari kritik para filsuf seperti Plato
dan Aristoteles, dll. Rakyat dikuasai kemarahan, “they are free men; the city
is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like,”
kata Plato.
Syahdan, ketika semua orang berbicara, dan geram sambil
bersumpah serapah pada mesin yang rusak di sebuah toko di Leicester Inggris,
seorang berparas Timur berusaha memperbaikinya, dengan sabar, dan akhirnya
tersenyum puas setelah mesin itu kembali normal sambil menyeringai, “ You see!
Wisdom always come from the East,” kira-kira begitulah maksud Edward Said dalam
Orientalisme tentang hikmah dari Timur.
Goethe (1749-1832) yang asli Barat itu memang mengeluhkan
dalam West Oestlicher Divan bahwa pandangan asli Barat yang materialis dan
individualis. Sedangkan Timur menjanjikan nilai-nilai kebijaksanaan, karenanya,
sastrawan kesohor, Iqbal (1923) dalam Payam – i- Mashriq (pesan dari Timrur)
menulis nasihat untuk Goethe.
Raindranath Tagore peraih Hadiah Nobel Sastra dari India
membenarkan kata hikmah-bijak (wisdom) memang dari Timur : ‘taklukkan kemarahan
dengan kesabaran, kejahatan dengan kebaikan’ juga berasal dari Timur. Berbeda
dengan istilah asli Barat, “Kenali musuhmu, vini, vidi, vici, we are the super
power, “ kata Tagore.
Timur (orient) dan Barat (occident), mungkin digambarkan
kelakar syair Tagore, bahwa wisdom bisa jadi hanya datang dari Timur, seperti
tempat terbit matahari, sebaliknya, tempat terbenamnya cahaya berada di Barat.
Dan karenanya, wisdomlah yang digali para pendiri negeri ini yang tak hanya
ingin merdeka secara territorial, tetapi juga secara ideologi. “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”
Hikmah, ia bukan personal, bukan Presiden, bukan anggota
dewan yang terhormat, bukan juga anggota DPRD. “Hikmat adalah suatu kondisi
kejiwaan dan dalam sila ini dikatikan dengan sikap dalam bermusyawarah dan
menentukan kebijakan. Artinya sistem permusyawaratan dan perwakilan dalam
bernegara di Indonesai ini mestinya dipimpin oleh moralitas yang tinggi.” kata
Dr. Hamid Fahmy Zarkasy dalam Hikmah.
Lanjutnya, dalam bahasa umum hikmah dipahami sebagai
kebijaksanaan atau bijaksana (wisdom). Dalam al-Qur’an terdapat perintah untuk
berdakwah dengan bijaksana (bi al-hikmah). Karenanya, orang yang memutuskan
perkara dengan hikmah, ia disebut hakim. Ikhwanussafa menjelaskan orang yang
memiliki hikmah atau “al-hakim” adalah yang perbuatannya dapat dipertanggung
jawabkan; kerjanya tekun, perkataannya benar, moralnya baik, pendapatnya betul,
amalnya bersih dan ilmunya benar, yaitu ilmu tentang segala sesuatu.
Hikmah juga berkaitan dengan berfikir yang logis dan
mendalam. Karena itu Ibn Rusyd menterjemahkan “hikmah” dengan filsafat dan
hakim dengan filosof. Istilah hikmah asli dari al-Qur’an dan disebut sebanyak
20 kali. Menurut al-Ghazzali hikmah adalah salah satu dari unsur akhlaq mulia
selain keberanian, kejujuran dan keadilan. Maka berakhlaq mulia dalam Islam itu
bukan sekedar berperilaku baik, tapi juga berilmu tentang kebaikan, bersikap
berani menyatakan kebenaran, berlaku adil terhadap segala sesuatu alias tidak
zalim.
Agar memiliki hikmah, keberanian, kejujuran dan keadilan
diperlukan ilmu. Sebab berani dan adil tanpa ilmu bisa salah jalan alias sesat.
Orang berilmu yang tidak jujur, ilmunya tidak manfaat. Demikian pula kekuatan
dan manfaat ilmu dapat dilihat ketika seseorang itu dapat membedakan antara
kejujuran dan kebohongan, antara haq dan batil, antara baik dan buruk. Jadi
hikmah menurut al-Ghazzali adalah keadaan kejiwaan seseorang yang dapat
mengetahui yang baik dari yang buruk benar dalam segala perbuatan. (Ihya III,
hal.54). Ibn Arabi dalam Futuhat juga berpendapat sama. ( Hamid Fahmy Zarkasy:
2011)
Ungkapan Gordon di awal boleh jadi benar, bahwa kualitas
(ilmu) intelektual dan spiritual dalam politik seakan tidak lagi dilibatkan.
“Sebenarnya, yang mendirikan dan membangun negara itu adalah para intelektual”
kata Zia Ul Haq (Presiden Pakistan silam) Mungkin Zia terinspirasi bukan dari
para politisi, tapi dari para intelektual seperti Mohammad Iqbal, Abul Ala Al
Maududi, Amir Ali, Syed Ahmad kan yang mempelopori kemerdekaan Pakistan.
Pun dengan inspirator negeri tetangganya (India) dari
penjajahan Inggris seperti Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Jawaherul Nehru
dan lain-lain. Boleh jadi, negeri ini pun begitu. HOS Tjokroaminoto adalah
inspirator Soekarno dan lainnya. Agus Salim, Hamka, Natsir, Wahid Hasyim, M
Yamin, Ki Hajar Dewantoro, hingga Hatta yang semuanya bukan politikus murni,
tapi intelektual yang bervisi politik.
Ayn Rand dalam For the New Intellectual menjuluki mereka,
sebagai thinkers who were also men of action. Dengan intelektualitasnya,
diharapkan menjadi dasar dari ‘hikmah’. Ilmunya menjadi bekal amal. Itulah al
Hakim (orang berhikmah). Al-Ghazzali menambahkan al-hakim adalah orang yang
jiwanya memiliki kekuatan mengontrol dirinya sendiri (tamakkun) dalam soal
keimanan, akhlak dan dalam berbicara. Jika kekuatan ini terbentuk maka akan
diperoleh buah dari hikmah, sebab hikmah itu adalah inti dari akhlak mulia.
Cerdas memang, para intelektual cum pendiri negeri ini.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” menggambarkan sebuah
sistem yang seharusnya hanya orang-oang yang “hakim” saja yang bisa memimpin
rakyat.
Berbeda dengan semangat kemarahan, semangat hikmah memandang
perbedaan pendapat tak harus dieksekusi dengan dendam kesumat karena ‘kalah’,
sambil geram membagi sana sini ‘RIP Demokrasi’. Terus berteriak, memaksakan
pendapat pribadi, tak sadar telah menjadi tiran, tirani demokrasi!. “Kematian
demokrasi” yang digadang-gadang dibunuh oleh pengusungnya sendiri, suicide
democracy! Tragis!
Sebaliknya, duduk bersama, meracik perbedaan, berpikir
kolektif dalam sebuah majelis, seakan mengulang romantimse masa silam ketika
sembilan orang berwibawa mengajukan dasar Negara tanggal 22 Juni 1945 dan
disepakati 62 anak negeri, hingga ketika sehari setelah kemerdekaan negeri ini
(18 Agustus), baru saja negeri ini memiliki Presiden dan Wakil Presiden yang
‘hanya’ disetujui 21 orang perwakilan.
Atau bisa juga kembali mengingat saat tahun 1955, ketika
setiap orang pun memberikan suaranya secara langsung namun orang-orang yang
disodorkan ialah para intelektual dan orang-orang terbaik dari Partai yang berbasis
ide. Sekarang, pertanyaan terlontar kepada partai politik, akankah mereka
memberikan rakyat pilihan para ahli hikmah yang akan diajukan sehingga rakyat
tak menerima ‘begitu saja’ apa yang disodorkan?
Sebab, jika para ahli hikmah memimpin negeri ini, maka
keadilan sosial takkan menunggu waktu, seperti ungkapan Lisan al-Din al-Khatib,
ulama abad ke 14, dalam kitab Raudat al-Ta’rif memahami bahwa hikmah seperti
keadilan. Walhasil, keberkahan dipastikan akan mengalir di negeri ini. Sebab
al-Qur’an sendiri menjamin, “Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….” (al-Qur’an 2:269)
Wallahua’lam.(*)
Sumber : islampos.com