Kicauan yang Menikam


JAMBI - Kicauannya setiap hari bak pisau tajam. Bermanfaat dan menguatkan keyakinan bagi yang memercayainya, tapi menikam dalam bagi yang menyinisinya. Sebuah pilihan yang terbilang berani untuk ‘mengubah’ haluan dari yang semula disimpati kalangan tertentu, lantas kemudian siap dicaci maki.

Beberapa orang bertanya pada saya tentang akorbat teman lama saya itu. Saat jadi jurnalis, ia mendapat hati tersendiri di kalangan islamis. Latarnya saat mahasiswa sebagai pengikut halaqah Tarbiyah dengan cepat teresonansi di kalangan kader sebuah partai Islam. Apalagi kicauannya yang cerdas disertai pula dengan semangat membela agamanya. Nuansa unu amat terasa saat ia menggelitik kekritisan pengikutnya ihwal operasi kontraterorisme yang digelar Densus 88.

Tapi cerita kebersamaan itu terkoyak saat teman tadi mulai ‘nakal’ dalam mengedukasi teman-temannya di satu halaqah. Ketergesaan menilai dan kurang kritisnya kader Tarbiyah celah baginya untuk melakukan edukasi dengan teman yang berbeda. Tema yang justru membuat ia menjadi musuh, atau sekurangnya sasaran prasangka, kader Tarbiyah.

Niatnya ‘meluruskan‘ fakta dan logika, bila dicermati memang mumpuni. Latar interaksi intimnya dengan kalangan telik sandi, baik saat menjadi jurnalis ataupun sekolah pascasarjana, mendukung ke sana. Hanya, nuansa dan bingkai yang terbangun memang tidak lagi seperti bau kentut. Awalnya saya merasa begitu. Bau busuk yang dikeluarkan dari kicauannya yang semula normal bagian dari artikulasi kritik, belakangan—saat menjelang pemilihan presiden—seperti ejawantah sebuah sikap.

Antara sikap atau antek, akhirnya kadung bersemayam di kepala banyak kader kalangan islamis pengikutnya di Twitter. Ia dicurigai begini begitu. Dari pendukung bayaran calon presiden hingga intelijen. Soal mana yang benar, wallahu’alam.

Balik ke bau busuk tadi. Saya coba runutkan kicauannya semata untuk membaca dan melihat peta berpikirnya. Bau yang semula tercium kecil dan wajar belakangan memang kian menggebu. Sesekali bahkan militan. Namun, militansi yang berbeda semasa ia masih dianggap kader sebuah partai islamis. Pertanyaan menyeruak bukan tentang apakah dia berubah atau tidak, melainkan mengapa dan bagaimana dia (mau) berubah? Berubah dengan positioning baru dari yang semula referensi aktivis dakwah menjadi ‘mencerdaskan’ aktivis dakwah.

Dari teman yang mengenalnya, saya mendengar asbab kemungkinan ia berubah. Ia, katanya, semasa jadi jurnalis menyisakan dendam di salah satu pengurus partai yang (dulu) didukungnya. Laporannya soal poligami sang pengurus partai berujung ia dibenci sang politisi dan pengikutnya. Kenaifan dan kebiasaan menilai secara tergesa-gesa politisi dan pengikutnya ini menempatkan ia bak ‘penjahat’. Berawal dari sini, cerita musuh memusuhi pun terjadi. Perlawanan pun ia berikan. Sebuah cara yang menohok ke jantung lemahnya partai: intelektualitas kader.

Karena itu sajakah ia lantas tulus berganti wajah?

Bergantung dari sudut mana menilainya. Bila dilatari prasangka buruk, walau atas nama loyalitas dakwah, hasilnya buruk pula. Ditambah lagi ada lubang pada teman tadi hingga menguatkan prasangka buruk. Tidak lagi bekerja formal, berkuliah S2, harus menghidupi anak dan istri, membuat siapa saja bisa menudingnya dibayar.

Sebaliknya, bila kita menilainya dengan prasangka positif, bahkan cenderung menegasikan perasaan hati kalangan yang menyinisi, hasilnya akan selalu baiklah wajah teman tadi.

Saya mencoba keluar dari pandora kebencian tapi juga tidak menganggap ia selalu mewakili sebagai anjing penjaga (watch dog) yang pasti dan selalu bersih tanpa tendensi. Tinggal dan berinteraksi di Jakarta membuat siapa saja mengubah wajah aslinya.

Jangankan sekadar jurnalis yang masih punya tanggungan keluarga, ustad saja bisa berubah drastis pola pikir dan perilakunya. Postulat ini pun tanpa terkecuali berlaku pada ia. Berubah wajah setelah dimusuhi lantas menudingnya mendapatkan alasan untuk melakukan balasan, memang logis. Hanya, apakah ini satu-satunya sebab, ada baiknya kita tidak masuk dalam perangkap pikiran.

Bagaimanapun juga ia memahami dan mendalamai secara praktis dan teoretis soal intelijen. Keberadaanya selaku jurnalis yang condong bersimpati pada korban salah tembak operasi Densus 88, satu torehan yang dilematis ke depannya. Besar kemungkinan namanya masuk dalam daftar terawasi aparat. Positioning ini ancaman bagi keselamatan diri dan keluarganya.

Bukan kebetulan bila preferensi ideologis calon presiden tertentu menopang kecurigaan ke sana. Sang capres bisa dikatakan ada persilangan ideologis dengan kalangan yang bermain di proyek intelijen dan kontraterorisme. Bila teman tadi masuk sebagai penyuara loyal sang capres, celaka besar. Maka, mengubah wajah adalah cara logis agar ia bisa selamat. Selamat karier, ekonomi, hingga nyawa. Asumsi di atas dengan catatan ia masih memegang idealisme.

Dengan demikian, sejatinya ia hanya sedang berpura-pura membenci calon tertentu. Membenci dengan tetap memberikan edukasi kepada kalangan yang memusuhinya—tapi pernah menjadikannya rujukan di Twitter. Dibandingkan dikerjai aparat, tentu ia sudah menghitung efek dicaci konsisten kalangan pendukung partai islami tertentu.

Persoalannya, dramaturgi ia sampai kapan? Apakah aparat percaya begitu saja? Atau, malah—dan ini sudah kekhawatiran sebagian orang yang pernal mengenal semaca mahasiswa—ia ‘terbeli’. Tidak seratus persen menggadaikan idealisme, mungkin, tapi sebatas menyisakan kerumitasn dan kerusuhan kecil di kalangan pendukung partai dakwah.

Apa pun yang melandasi motifnya berkiprah di jagat kicau, ia sudah dewasa. Ia sudah dibekali pemahaman agama sejak belia, sebagaimana ia piawai menerapkan kejernihan berlogika dalam urusan dukung-mendukung. Ia tentu sudah mengetahui pilihan Ahmad bin Hanbal yang memilih didera rezim daripada berdiplomasi dengan kata-kata. Karena orang-orang akan mengingati apa yang tersurat, dari ucapan dan tindakan; bukan dari isi hati kita.


Mungkin kita sedang berpura-pura untuk sebuah jalan ‘kebaikan’, tapi sebuah pilihan berubah wajah hingga lahirkan kebencian dan penilaian berbeda kiranya tidak perlu diteruskan. Bukan soal benar dan salah; ini soal metode mengoreksi dalam ‘edukasi’ kalangan islaminya ahsan atau tidak. Kadar intelektual mereka boleh jadi payah, tapi tentu ada banyak jalan mengubahnya tanpa harus lahirkan curiga sebagaimana mudahnya kita melafalkan fonem /d/ dan /l/ berurutan di nama diri meski ini taklazim.(*)
Moehardian

Translate